Oleh Supadilah
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengamuk di jembatan timbang Subah, Kabupaten Batang pada Minggu (27/4). Ganjar memergoki adanya praktik pungutan liar di pos pengecekan muatan kendaraan itu. Mulanya petugas jaga berbelit dan mengelak. Tapi kemudian tidak berkutik saat masuk seorang kernet yang meletakkan begitu saja sejumlah uang di atas meja.
Tidak sampai disana, Ganjar kemudian membuka laci dan menemukan beberapa amplop berisi uang yang diletakkan secara terpisah, diduga sebagai uang suap untuk petugas jembatan timbang. Suap itu diberikan agar truk tetap dibolehkan melintas walaupun kelebihan muatan. Ganjar mengatakan praktek inilah yang menyebabkan jalan-jalan rusak.
Sudah sering kita mendengar ada pejabat ngamuk. Karena ketidakpuasan terhadap kinerja bawahannya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Baik ngamuk karena paham maupun salah paham. Dengan nada yang sopan maupun caci maki. Dari menggebrak meja hingga menendang kursi.
Presiden SBY pernah marah-marah di depan forum kepada daerah se-Indonesia karena mendapati para peserta yang tertidur. Dahlan Iskan juga mengamuk di pos jaga tol bahkan sampai dengan aksi menendang kursi. Ahok kerap marah-marah kepada bawahannya pada saat melakukan sidak. Walikota Surabaya Tri Rismaharini pun mencak-mencak saat turun ke lapangan ketika mendapati pembangunan pasar yang tidak kunjung rampung dan tidak sesuai dengan perencanaan.
Kota Padang pun punya cerita. Mantan walikota Padang, Fauzi Bahar di akhir masa jabatannya marah-marah hingga mengumpat, mencaci dan menyebut nama binatang berkaki empat. Sedangkan di Riau, Gubernur Annas Maamun mengeluarkan kata kotor yang dalam bahasa Minang berarti kemaluan perempuan. Sebuah kata yang tidak pantas diucapkan oleh siapapun apalagi olehnya selaku pejabat publik orang nomor satu di provinsi Riau.
Aksi pejabat turun langsung ke lapangan memang menjadi tren. Fenomena yang perlu diapresiasi dan disambut baik. Dengan begitu para pejabat bisa melihat langsung dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Bagi Ganjar atau pejabat lainnya, mungkin kejadian itu adalah kali pertama mereka memergoki pelanggaran seperti itu. Tapi rakyat sudah biasa mendapati kejadian seperti itu, baik melihat atau mengalaminya. Kita sudah terbiasa dan hafal. Seperti halnya sopir dan kenek di jembatan timbang yang meletakkan uang begitu saja tanpa perlu mencari petugas dan tanpa berkata sepatah kata pun. Sudah hafal dan biasa. Bukan lagi pungutan liar (pungli) tetapi sudah berubah menjadi pungutan jinak (pungji).
Aksi yang dilakukan para pejabat itu harus dievaluasi perubahannya. Jangan hanya gerakan sporadis atau pencitraan. Setelah ngamuk ini, perlu sidak lagi misalnya satu bulan kemudian. Lihat ada perubahan atau tidak. Kalau harus ngamuk yang kedua kalinya, maka memang perubahan itu sulit dilakukan.
Pekerjaan besar bagi para pemimpin untuk membenahi negeri ini. Kebobrokan moral pegawai birokrasi sudah mengakar dan membudaya. Sulit dirubah. Besarnya beban negara untuk membayar gaji pegawai tidak dibarengi dengan kinerja yang memuaskan. Dimana-mana masih ada pungutan baik pungutan liar (pungli) maupun pungutan jinak (pungji) sementara pelayanan tidak memuaskan. Kalau mau mengurus administrasi tanpa pelicin akan seret atau sulit. Birokrasi masih memegang prinsip ‘kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah’.
Para pemimpin harus sering turun ke masyarakat. Hilangkan jarak dan mendekatlah pada rakyatnya. Indonesia saat ini butuh pemimpin yang bekerja. Contohlah kepemimpinan Umar bin Khattab yang mau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya. Adakah pemimin di negeri ini yang bisa sepertinya? Kalau tidak mirip sekali, yang agak mirip cukup.