Senin tadi (25/9) sekolah kami tidak mengadakan upacara bendera. Justru melangsungkan sebuah kegiatan yang hebat yakni guru mendengar. Kata pembaca acara atau MC dadakan ketika itu acaranya dinamakan ABG Labil (Anda Bicara Guru Lalu Bilang Makasih). Walau terkesan dipaksakan, cukup menarik ketika mendengarnya.
Saya katakan acara hebat, karena di acara itu siswa bicara langsung kepada guru apa yang menjadi unek-uneknya tentang sekolah dan guru. Pihak sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan apa pun. Di awal, MC sudah mewanti-wanti agar guru akan mendengarkannya apa pun yang disampaikan siswa. Guru harus memasang baik-baik telinganya, melapangkan dadanya, sabar dan tidak boleh marah.
Kesempatan ini sangat langka. Mengingat, biasanya guru yang berbicara dan siswa hanya mendengar. Bisanya, guru memerintah, siswa hanya bisa pasrah. Namun acara ini bukan pula ajang balas dendam, atau alih profesi. Tapi sebagai langkah dengar pendapat siswa.
Cukup banyak yang disampaikan siswa. Diantaranya ada yang menyampaikan dengan lancar, ada pula yang dengan gemetar atau grogi. Ada beberapa usulan dan pertanyaan dari beberapa siswa yang sempat saya catat di handphone. Pertama, supaya memberikan dan memperlancar izin kepada siswa yang mau mengadakan kegiatan, untuk memperlancar aktivitas organisasi sekolah. Kedua, memahami alasan keterlambatan siswa, terutama boarding (pondok), karena banyak  tanggung jawab kami. Harusnya tanya baik-baik. Sebab, kadang mereka terlambat karena mereka harus melakukan pembinaan kepada juniornya di boarding. Ketiga, tidak suka disinggung dengan label ‘kakak kelas’. Ini disampaikan oleh siswa kelas XII sebagai siswa paling senior di sekolah. Intinya mereka tidak mau label paling senior sebagai patokan mereka tidak boleh melanggar atau berbuat salah.
Ada pula yang menanyakan tentang minimnya fasilitas sekolah terutama fasilitas olahraga. “Lapangan badminton ada dua tapi jaringnya cuma satu. Ada lapangan yang nggakada tiangnya. Biasanya kami pakai meja yang ditumpuk untuk bikin tiangnya, Pak”
“Sekolah kurang tegas dengan hukuman kepada siswa yang melanggar. Ada siswa yang motornya pakai knalpot bising, rambut panjang, dan rambut berwarna tapi tidak ditindak oleh sekolah” kata ketua OSIS, namanya Yogi Sugiono.
Adanya diskriminasi perlakuan terhadap siswa. “Kami minta adanya perlakuan yang sama antara siswa kelas X, XI dan XII. Kenapa waktu itu kami ditegur ketika menyetel musik tapi kelas X yang nyanyi dengan suara keras di kelas tidak diapa-apakan” kata Fahriz Romdhony. Dia adalah ketua MPK.
Penyampaian yang paling tajam sepertinya tentang kritik terhadap kritik dan penindakan guru terhadap siswa. Siswa mengatakan adanya sikap yang tidak enak diterima oleh mereka. Mereka menginginkan adanya kesopanan saat menindak atau memberi hukuman. Siswa bebas menyebut dan menunjuk siapa guru yang dimaksudkan. Tentu saja dengan bahasa yang sopan dan cara penyampaian yang benar. Tidak sampai marah-marah atau menyudutkan guru. Guru sebagai sosok yang lebih dewasa tentu saja menampungnya dengan hati lapang.
Di awal, guru janji akan berlapang dada, sabar, dan tetap mendengar. Maka walaupun guru disebut langsung oleh siswa, tidak ada yang serta merta melakukan klarifikasi atau bantahan atas penyampaian siswa. Hanya beberapa guru yang diminta tanggapan langsung oleh siswa yang memberikan hak jawab.
Bagi saya, kegiatan seperti ini, guru mendengar keluhan, curhat, kritik dan saran dari siswa secara langsung, adalah pengalaman pertama dan berkesan. Dibutuhkan kehebatan untuk menerima kritik dari siswa. Hanya guru berjiwa besar yang sanggup menerima masukan dari siswa. Sebab tidak jarang, guru menganggap dirinya lebih tahu segala hal daripada siswa.
Ada guru menganggap dirinya yang lebih tua selalu benar, dan siswa selalu salah.
Kebanyakan orang lebih suka berbicara daripada mendengarkan. Sanggup bertahan lama ngomongberbusa-busa namun tidak sabar untuk mendengarkan. Nah, kali ini kami sebagai guru belajar mendengar siswa. Tentunya tidak hanya telinga saja yang dipakai namun juga hati terbuka lebar dengan apa yang mereka sampaikan.
Kepala sekolah kami sangat bijaksana. Hanya kepala sekolah yang berhak menanggapi (tanpa diminta) dan memberikan komentar. Diawal, kepala sekolah mengapresiasi keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat, masukan dan kritik.
“Kita ini adalah sama-sama orang dewasa. Tentunya tahu bagaimana bersikap. Bahwa yang dilakukan oleh guru semata-mata menempatkan diri sebagai orang tua agar anaknya tidak salah langkah. Agar diberikan izin, perbaiki komunikasinya. Jelaskan dengan cara baik-baik dengan alasan yang benar. Tidak ada niat menghalang-halangi niat untuk kebaikan. Keterlambatan tidak akan dikenai sanksi yang tidak benar jika jelas alasan keterlambatannya. Begitu juga dengan guru, hendaknya melakukan tabayunatau pengecekan terhadap siswa yang terlambat”
“Guru juga tidak akan pilih kasih memperlakukan siswa. Namun tentunya siswa juga harus mawas diri. Supaya menghindari berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Biasakan tidak ribut di mushala. Sebab ada guru yang melakukan pendekatan dengan lembut ada juga yang langsung memberikan teguran”
“Hendaknya kita tidak tersinggung, ketika memang kita abai dengan peraturan yang disepakati di sekolah. Kalau ada siswa melanggar dan kelihatannya dibiarkan, sebenarnya itu bukan didiamkan. Kelonggaran sebagai bentuk humanis guru, memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan menyelesaikan masalah”.
Kepala sekolah juga menyampaikan maaf jika ternyata tidak bisa memahami siswa secara utuh dan mendalam. “Guru juga tidak selamanya benar. Para guru masih belajar menjadi sosok orang tua yang 100 persen untuk kalian”.
Saya dalam hati mengiyakan ucapan kepala sekolah. Kepala saya angguk-angguk mendengar penuturannya. Saya tidak merasa dibela oleh kepala sekolah. Juga tidak merasa tidak salah dalam berinteraksi dengan siswa. Dalam hati saya merasa, mendidik anak memang banyak dinamikanya. Sikap guru pun kadang berubah. Suatu saat bijaksana, saat yang lain bisa ceroboh. Di suatu waktu baik kepada siswa, di waktu yang lain, bisa saja guru sedang memikirkan banyak masalah yang terbawa di sekolah. Sikap yang paling bijak adalah guru dan siswa sama-sama berpikir positif dan mencari jalan tengah atas permasalahan yang ada.
Penulis adalah guru di SMA Terpadu Al-Qudwah, Kalanganyar, Lebak, Banten.