Oleh Supadilah, S.Si
Membaca adalah kunci untuk membuka ilmu pengetahuan. Bagi siswa dan orang-orang dunia pendidikan, membaca adalah sebuah keharusan. Benarlah ungkapan buku adalah jendela dunia. Beragam informasi dan ilmu pengetahuan didapat dari membaca. Nah, apa jadinya jika kita tidak membaca? Maka kita akan buta dengan ilmu pengetahuan dan ketinggalan dengan negara lain. Karena membaca adalah kemampuan dasar dalam menggali informasi dan menelaah ilmu pengetahuan serta mempelajari sesuatu. Tinggi rendahnya kualitas ilmu pengetahuan ditentukan dari besar kecilnya minat baca.
Minat baca di negara kita sangat memprihatinkan. Dikutip dari situs www.bimbingan.org, Bank Dunia menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam urutan terakhir se-ASEAN untuk minat baca anak-anak usia sekolah dasar. Pada tahun 1992, dari 30 negara yang dievaluasi oleh Asosiasi Internasional menempatkan Indonesia urutan dua dari belakang dalam hal kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar.
Data yang mencengangkan. Betapa Indonesia berada pada posisi terbelakang dalam hal membaca. Padahal ini sudah berlangsung lama. Jika kondisi demikian tidak akan berubah, patutlah Indonesia menjadi bangsa yang tertinggal dari bangsa lain.
Jumlah terbitan buku di Indonesia pun tergolong rendah. Pada tahun 2012, tercatat tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. (www.kompas.com)
Salah satu penyebab kondisi-kondisi di atas adalah karena kurikulum pendidikan kita. Sastrawan nasional Taufik Ismail mengatakan bahwa di SMA beberapa negara ternyata ada kewajiban membaca buku. Di Thailand, untuk bisa tamat tingkat sekolah menengah siswanya harus tamat membaca minimal 5 judul buku (1986-1991). Sementara itu, Malaysia 6 judul buku (1976-1980), Singapura 6 judul buku (1982). Negara-negara maju seperti Jepang 15 judul buku (1969-1972), Jerman dan Perancis 22-23 judul buku (1966-1975). Jumlah beban judul buku itu berbanding lurus dengan tingkat kemajuan suatu negara. Makin banyak judul buku yang harus dibaca, makin maju suatu negara.
Sementara itu di Indonesia, dari tahun 1950 sampai sekarang Indonesia nol buku atau tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku pun. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan terutama Departemen Pendidikan belum memberikan kebijakan untuk membangkitkan kesadaran membaca melalui kurikulumnya. Wajar saja jika minat baca bangsa kita rendah yang berakibat pada ketertinggalan bangsa kita dari bangsa lain.
Menyikapi hal ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menumbuhkan minat baca siswa. Pertama, memasukkan kewajiban menamatkan membaca beberapa judul buku pada setiap jenjang pendidikan yaitu tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Memang ini sedikit ‘memaksa’. Tapi kalau tidak ada kebijakan seperti ini, maka sulit menumbuhkan minat baca siswa. Pada awalnya ‘dipaksa’, selanjutnya akan terbiasa.
Penulis menyambut baik apa yang akan dicanangkan Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak dalam menuju Lebak Cerdas, bahwa akan ada kewajiban bagi siswa untuk menamatkan beberapa judul buku. Hanya saja, evaluasinya harus tepat. Agar siswa tidak hanya mengaku-aku sudah sudah tamat membaca. Salah satu evaluasinya adalah membuat resume dari buku yang dibaca.
Kedua, menggencarkan kampanye membaca melalui baliho-baliho atau spanduk berisi ajakan membaca. Kalau kita lihat di jalan-jalan dan tempat umum, sangat minim sekali atau bahkan tidak ada media-media berisi ajakan membaca. Pemerintah daerah harusnya mengalokasikan beberapa tempat untuk kampanye membaca. Agar tidak hanya diisi oleh kampanye caleg atau parpol, iklan rokok, atau iklan komersil lainnya.
Ketiga, teladan dari orang tua dan guru. Para orang tua harus mulai menganggarkan pengeluaran mereka untuk membeli buku setiap bulannya atau berlangganan koran. Mungkin sekitar 5 – 10 % dari gaji atau bahkan kurang. Tentu ini tidak memberatkan. Di rumah orang tua biasakan membaca buku atau koran. Di sekolah pun demikian. Sekolah harus berlangganan koran. Siswanya dianjurkan atau diwajibkan datang ke perpustakaan. Dalam memberi tugas guru pun hendaknya mengupayakan jawaban dan penyelesaiannya ada di buku. Hal ini ‘memaksa’ siswa untuk harus membaca. Para guru juga harus memberi contoh dan keteladanan. Guru hendaknya banyak membaca sehingga para siswa dapat mencontohnya. Menjadi gila buku atau kutu buku pun tidak menjadi masalah.
Guru harus sering kali dipergoki siswa dalam keadaan sedang membaca buku. Dengan adanya keteladanan dari sang guru, maka siswa pun terbangkitkan minatnya untuk membaca buku.
Pustaka sekolah hendaknya menyediakan buku-buku terbaru yang dapat merangsang siswa untuk mengunjungi. Pengadaan buku itu dimulai dari jenis bacaan yang mereka sukai misalnya novel, roman, atau jenis buku yang mereka gandrungi.
Keempat, mengapresiasi siswa yang sudah membaca buku. Misalnya dalam satu minggu sudah ada siswa yang menamatkan satu judul buku, siswa tersebut diberikan hadiah. Dengan pemberian hadiah itu, diharapkan bisa memacu motivasi siswa lain untuk memiliki minat membaca buku. Siswa lain dapat tertular kebiasaan membaca. Denga demikian, membaca menjadi budaya bagi siswa.
Menciptakan taman bunga adalah impian setiap pecinta alam dan keindahan. Taman bunga adalah tempat di mana keindahan alam berkumpul dalam harmoni yang mempesona. Dengan aneka macam jenis bunga yang mekar dalam beragam warna dan aroma, taman bunga menjadi surga kecil yang mengundang mata dan hati untuk mengatakan wow. Dalam taman bunga, kita dapat melihat paduan sempurna antara warna-warni bunga, hijaunya daun, dan kesegaran alam yang membawa kedamaian dan kegembiraan. Taman bunga adalah tempat di mana kita bisa melepaskan diri dari hiruk-pikuk dunia dan membiarkan diri kita tenggelam dalam keindahan yang tak tergantikan.