Gerimis membesar, hujan semakin deras. Beberapa pengguna jalan kaki yang sudah sedia payung segera membuka lipatan payungnya. Yang tidak membawa payung segera menepi menghindari rintik yang kian menjadi. Aku semakin merapatkan tubuhku ke dinding emperan toko, menghindari cipratan air hujan. Ku lihat orang-orang pun melakukan hal demikian.
Tapi kemudian, terlihat sesosok orang tua yang berlari menuju sebuah kantor yang tepat berada di seberang tempat aku berteduh. Anehnya, justru ia lari dari tempat teduh di emperan toko dimana aku juga berteduh. Artinya, sebenarnya dia sudah dalam keadaan teduh.
Dan kini orangtua itu malah berlari menuju kantor di seberang sana. Atau, mungkin dia akan berteduh di kantor itu. Tapi ternyata tidak, dia tidak menuju menuju tempat teduh di kantor itu, melainkan berhenti tepat dimana terpancang tonggak tiang bendera. Dan kemudian, ditengah gerimis yang kian membesar ia turunkan bendera yang masih tertambat dipucuk tiang sana. Tapi tak mudah membuka ikatan tali di tiang bendera itu, mungkin ikatannya cukup kuat. Cukup lama dia berkutat mencoba membuka ikatan itu tapi belum berhasil.
Air turun menderas. Beberapa orang penasaran, melihat ke arahnya termasuk aku. Akhirnya, terlihat ia berhasil membuka ikatan tali pengerek bendera. Tapi tubuhnya telah basah kuyup. Belasan memandang ke arahnya dengan mimik heran. Sebab, ditengah hujan yang menggila ia mau-maunya ia menurunkan. Toh, ia bukan penjaga kantor itu. Dan kalau pun penjaga kantor, tak perlu rasanya bersusah payah basah kuyup demi menurunkan bendera. Semua orang akan maklum jika ia tak sempat menurunkan bendera sebab hujan.
Merah putih kini berada dalam pelukannya. Kembali ia berlari menuju kantor itu, kemudian diletakkannya bendera itu di meja satpam kantor. Kemudian dia berlari menuju tempat dimana dia tadi teduh; tepat disebelah kanan ku.
Kebetulan. Dia menghampiri ku. Kemudian aku panggil dia,
“Kek….kek… kesini” tawarku.
Aku memiringkan badan. Agar semakin ada ruang lapang meski sedikit, agar ia tertarik mendatangiku.
Padahal, aku tak hanya sekedar menawarkan tempat kepadanya. Keingintahuan ku tentang apa yang diperbuatnya, lebih besar.
“He…he…terimakasih nak,”
Terkekeh dia mendatangi tempat disamping ku. Kemudian tangannya sibuk menghapus air hujan yang membasahi keningnya. Ku lihat dia kedinginan. Bajunya basah kuyup.
Aku tak mampu menahan lama rasa penasaran ku.
“Kakek ini siapa,?”
Ups, kegugupan ku malah mendatangkan pertanyaan yang aneh.
“Maksud saya, kek. Siapa nama Kakek? Terus, kenapa kakek mau-maunya hujan-hujanan untuk menurunkan bendera?”
“O, itu yang kamu tanya Nak…Aneh ya?” kali ini tangannya tak lagi sibuk mengusir sisa butiran air hujan di wajahnya.
Ah, rupanya kakek ini tak segera menjawab pertanyaan ku. Pertanyaan ku dijawan dengan untaian kalimat yang keluar dari lisannya. Aku begitu seksama memperhatikan setiap perkataannya.
“Orang zaman sekarang, sangat kurang rasa cinta kepada negara. Kurang menghargai bangsanya, juga kepada benderanya. Hanya sedikit yang memiliki kepedulian dengan merah putih. Padahal, dulu kami bertaruh darah dan nyawa untuk bisa mengibarkannya”.
Ku lihat ada gurat kekecewaan di wajahnya.
“Kami begitu merindukan merah putih bisa berkibar ditiup angin di atas tanah miliknya sendiri, di tanah Indonesia. Kami begitu mencintainya, melebihi cinta kami kepada dri kami. Biarlah baju di badan basah peluh dan penuh kotoran, asal jangan merah putih. Kami mau saja berpanas terik dan basah oleh hujan, asalkan merah putih tidak.
“Anehnya orang zaman sekarang, melihat merah putih akan basah kuyup, tak ada yang berusaha meneduhkannya”.
“Padahal, mereka belum tentu ikut andil membuat merah putih bisa dikibarkan. Sekarang ini, tak susah payah mereka untuk bisa mengibarkan bendera. Hanya dituntut, menjaga sang merah putih tidak juga mau”.
Muka ku terasa panas padahal hujan masih mengguyur. Kalimat itu pas mengena dihatiku. Kalimat itu memang cocoknya untuk ku.
“Kamu lihat sendiri tadi, hujan turun dan semua orang sibuk meneduhkan dirinya, tapi tak ada satu orang pun yang mau meneduhkan merah putih.
Aku tertohok dengan kerasnya. Aku tak sanggup mengangkat muka ku.
“Waktu hujan tadi, tak ada yang mau menurunkan merah putih. Agar ia tak kedinginan. Agar ia tak basah kuyup”.
Meski suaranya tak terlalu keras, tapi aku mendengarnya begitu jelas. Aku merasakan kemarahan pada nadanya. Ku lihat ia berusaha keras menahan agar tak terisak, padahal ku lihat ada yang menetes di sudut matanya.
“Maafkan kakek, Nak… Kakek terlalu kecewa dengan orang-orang sekarang.
Tapi aku mendengarnya kakek itu berbicara pada ku
”Kakek terlalu kecewa kepada mu,”
“Maafkan aku Kek…”
“Nak, tua begini cinta kakek kepada negeri ini masih kuat. Sekuat cinta kakek waktu muda. Bukti cinta kakek kepada negeri adalah….”
Kalimatnya menggantung, kemudian ia menyingkapkan bajunya dibagian kanan. Pasti dia akan memperlihatkan semisal bekas tembakan, piker ku. Aku semakin kagum kepadanya.
Ternyata, kakek itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam plastik yang disimpannya disaku celananya. Bendera merah putih berukuran kecil.
“Bendera ini selalu kakek simpan. Sebab dengan membawanya, kakek selalu merasakan harus berbuat sesuatu untuk negara ini”.
“Kau mungkin tidak percaya, begini-begini kakek tahu juga lagu anak muda sekarang, tapi yang mengandung semangat cinta kepada negeri. Cokelat itu punya “Bendera”-nya. Tipe-X dengan Indonesia Sayang.
Mulutku membuat bulatan huruf O. ternganga tak percaya.
“Yang sedang nge-tren ya Garuda di Dada-ku, penyanyi Netral kan, Nak..”
Bulatan di mulut ku semakin membesar. Tak ku sangka, kakek ini begitu nasionalis. Fenomenal juga nih orang, batin ku.
“Awalnya sih, kakek denger dari orang-orang yang juga menyanyikannya. Asalkan ada cinta kepada negara , kakek suka. Lama-lama kakek hafal dengan sendirinya”.
Ah, rupanya aku ‘kalah muda’ dengan kakek ini. Bahkan nasionalisme ku tidak ada apa-apanya dibanding kakek ini.
Hujan mereda, matahari mencoba meloloskan sinarnya diantara rintik yang turun. Saling mendahului, tercipta bias pelangi jauh di sana.
Orang-orang yang tadi berteduh mulai bertebaran, kembali lalu lalang meneruskan aktivitasnya. Aku pun bermaksud demikian. Tapi aku masih termangu. Sebab kakek yang fenomenal ini telah sukses menyindirku. Mengejek nasionalisme ku yang kian menipis di dada.
Ku lihat kakek itu berkemas. Sepertinya mau melanjutkan aktivitasnya. Bendera kecil kembali diletakkan di saku celananya.
“Nak, kakek duluan ya…masih ada yang harus kakek kerjakan”
“Iya kek… eh kek terimakasih ya atas perbincangan kita. Maaf kek, saya belum bisa seperti kakek..”
“Masih ada waktu Nak. Negeri kita butuh orang yang cinta kepadanya. Dan yang penting adalah yang mau berkorban untuknya” ucapnya bijak kepada ku.
“Ya kek, doakan agar aku bisa memiliki perasaan itu..”
“Baiklah Nak, kakek do’a kan. sudah ya, kakek duluan. Assalamu’alaikum…
“Wa’alaikumussalam…”
Pandangan kagum ku mengantarkan kepergiannya. Dibalik punggungnya yang sudah mulai bungkuk ternyata masih tersimpan dengan kuat rasa cinta kepada bangsa dan negara. Huh…kalau saja banyak orang seperti kakek ini, negeri ini akan terurus dengan baik. Sore ini aku diingatkan tentang nasionalisme yang penting untuk dimiliki. Begitu unik, sebab dari seseorang yang berusia lanjutlah, pelajaran itu aku dapatkan. Dalam hati aku berjanji untuk menguatkan rasa cinta kepada tanah air dengan kuat.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, dengan kekesalan yang pasti, ku tepuk kepala ku yang lalai ini.
Eh,siapa nama kakek tadi ya… aduh, lupa menanyakan tadi.
Ah, si kakek sudah tak nampak lagi.