“Hijrah itu ibarat lari maraton. Loe harus tau pasti nih, kapan harus harus berlari cepat-cepat meninggalkan garis start...”
Pembuka filmnya saja sudah menggebrak. Lewat adegan Adin yang lari menyeret-nyeret seorang anak yang merupakan Hayya, penonton dibuat terpukau dengan suguhan di awal film itu. Romantisme kata-kata, gelak tawa adegan, dan pesan mendalam.
Hayya, merupakan sekuel dari
The Power of Love 2. Masih menceritakan tentang Rahmat, seorang jurnalis, dulunya banyak menulis hal yang menyudutkan Islam, yang lantas hijrah berbalik mencintai Islam.
Ingin lebih dalam lagi dalam hijrahnya, Rahmat memutuskan untuk menambah pengalaman dan kontribusinya dalam Islam. Singkat cerita, Rahmat ditemani Adin, ke Palestina bersama rombongan relawan kemanusiaan. Mereka ikut terlibat dalam misi kemanusiaan; pemberitaan tentang perang Palestina dan menyelamatkan korban perang. Salah satu korban perang itu adalah Hayya, yang menjadi yatim akibat perang. Hayya menjadi dekat dengan Rahmat dan Adin.
Saat misi mereka selesai, mereka pun harus meninggalkan Hayya. Meskipun sedih, mereka harus kembali ke Indonesia. Rahmat harus segera pulang ke Ciamis untuk melangsungkan pernikahan dengan Yasna.
Kepulangan ke Indonesia malah menjadi rumit saat Hayya ternyata ikut, dengan cara rahasia. Adin menyarankan agar Hayya dikembalikan ke Palestina. Namun
Rahmat bersikeras untuk merawat Hayya khawatir dengan traumatik perang yang dialami Hayya.
Saat pihak Palestina melaporkan adanya kehilangan seorang anak, lembaga kemanusiaan Palestina pun mencurigai keterlibatan Rahmat. Dengan berbagai cara, Rahmat berusaha menghindari penjemputan paksa Hayya.
Nah, di saat penyelamatan Hayya oleh Adin ini (saat itu Rahmat tengah melangsungkan ijab Qabul), nasionalisme yang saya pakai sebagai judul review film inilah terlihat. Saat Adin dan Hayya lari, melintasi tembok dengan mural dan tulisan NKRI Harga Mati, bersebelahan dengan tulisan Palestina Freedom.
Yah, dengan alasan nasionalisme pula, rakyat Palestina berjuang untuk kemerdekaan. Begitu pun bangsa Indonesia membantu Palestina; atas nama nasionalisme. Bukankah amanat undang-undang kita yang mengatakan demikian? “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu maka penjajahan di dunia harus dihapuskan”.
Nasionalisme tanpa batas teritorial. Di manapun ada rasa kemanusiaan terketuk, di sanalah nasionalisme terpanggil.
Perjuangan Adin dalam menyelamatkan Hayya pun usai. Hayya diambil. Rahmat yang datang kemudian, melampiaskan kemarahannya pada Adin. Yasna yang datang menyusul, mengatakan bahwa dialah yang mengabarkan pihak berwajib bahwa anak Palestina yang hilang itu ada di Ciamis. Yasna berusaha menyadarkan Rahmat bahwa cinta pada Hayya bukan berarti melanggar hukum. “Itu obsesi, bukan cinta”.
Film Hayya ini dibintangi Fauzi Baadila, Adhin Abdul Hakim, Ria Ricis, Hamas Syahid, Meyda Sefira, Asmanadia, Amna Shahab, Humaidi Abas, dan Fajar Lubis. Selain menguras air mata karena banyaknya adegan haru dan sedih juga pemandangan perang di Palestina, Hayya juga sukses menghadirkan kelucuan yang mengundang tawa.
Tentu saja, Ricis dengan berbagai tingkah lucunya, mulai dari rekrutmen baby sitter, saat mengasuh Hayya, ngerumpi di tukang sayur, bakar sate, hingga adegan seolah-olah Ricis dan Rahmat merupakan sepasang suami istri dengan panggilan Abi dan Umi di saat keluarga Rahmat dan Yasna sedang membicarakan tanggal pernikahan. Tentu saja, membuat gempar seisi rumah. Hehe ..
Saya bersyukur bisa nonton Hayya bersama siswa dan guru, dua sekolahan (Al Qudwah, Lebak, dan Irsyadul Ibad, Pandeglang) Dua studio kami kuasai. Diinisiasi oleh komite sekolah, nobar ini sukses besar. Anak-anak terlihat dan terlibat. Tentu saja, nonton di penayangan perdana memberi kesan beda.
Judul film : The Power of Love 2 : Hayya
Tayang : 19 September 2019
Produser : Asama Nadia
Sutradara: Jastis Arimba
Pereview: Supadilah