Kesadaran mengurangi perayaan tahun baru dengan aktivitas yang tidak bermanfaat semakin gencar. Malahan khusus menjelang pergantian tahun ini beberapa kepala daerah mengeluarkan surat himbauan. Pada intinya menghimbau agar masyarakatnya tidak merayakan malam tahun baru,  mengurangi aktivitas hura-hura, atau mengisinya dengan kegiatan bermanfaat.
Di kabupaten Lebak misalnya, bupati Itu Octavia Jayabaya mengeluarkan surat edaran nomor 338/150-BagPem/2018 tentang Perayaan Tahun Baru. Isinya tentang imbauan tidak merayakan malam pergantian tahun baru 2019 dengan kegiatan hura-hura,  tidak menyalakan petasan maupun kembang api, tidak melakukan konvoi kendaraan yang mengganggu kenyamanan seperti melepas saringan udara atau menggunakan knalpot racing. Juga diimbau untuk melakukan ibadah sesuai agama masing-masing, khusus bagi umat Islam agar diisi dengan salat Maghrib dan Isya berjamaah diiringi dengan dzikir bersama, dan menghindari perbuatan yang melawan hukum. Dan terlihat pula hasilnya di beberapa tempat musola dan masjid melakukan kegiatan sesuai imbauan bupati tersebut. Seperti halnya di Masjid Agung Rangkasbitung yang mengadakan kegiatan khatam Al-Qur’an 30 Juz dan ceramah agama oleh KH. A’la Rotbi, LC dan KH. Ending, LC .
Hal seperti ini terlihat juga di tempat- tempat lain. Banyak pergantian tahun diisi dengan kegiatan keagamaan seperti refleksi akhir tahun, istighosah, atau dzikir bersama. Tidak hanya di musola atau masjid tapi juga di kantor-kantor lembaga pemerintah atau lingkungan RT/RW.
Di luar adanya musibah tsunami Selat Sunda yang memakan banyak korban di Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018, pergantian tahun kali ini telah banyak kesadaran pada masyarakat untuk memilih kegiatan yang lebih positif.
Seperti yang disampaikan ustadz Ending LC, musibah membawa berkah. Hal ini beliau sampaikan di saat kajian usai salat Maghrib di lingkungan tempat tinggal saya. Beliau mengatakan sebuah bencana alam bisa bermakna sebagai ujian, teguran, atau azab. Bencana tsunami Selat Sunda, kata beliau, merupakan ujian dan teguran, bukan azab. Sebab, katanya, “Jika tahun Selat Sunda merupakan azab, kehidupan masyarakat di Pantai Carita hanya tinggal cerita”. Namun Allah masih sayang dengan kita, sehingga tidak semua kehidupan di sana yang dimusnahkan seperti azab yang menimpa kaum Luth, semuanya binasa tidak tersisa.
Bagi seorang muslim hendaknya selalu mengambil hikmah atas setiap kejadian. Masih ‘untung’ tsunami tidak terjadi di malam pergantian tahun baru. Jika terjadi pada waktu tersebut, tentu korban akan lebih banyak lagi.
Setidaknya tsunami Selat Sunda tersebut telah memberikan andil dalam mengubah kebiasaan kita. Perayaan malam tahun baru sesungguhnya banyak mudharat ketimbang manfaat. Begadang di waktu malam itu membuat kita tidak produktif. Terbukti esok paginya banyak orang yang bangun kesiangan. Beberapa diantaranya terlewat salat Subuh. Jika demikian, sebuah awalan buruk di tahun baru. Apa yang bisa diharapkan dari awalan yang buruk? Merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan kembang api dan petasan sebetulnya kegiatan hura-hura yang menghamburkan uang saja. Mengeluarkan uang yang tidak sedikit, hanya untuk ‘dibakar’. Dalam semalam, bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan dalam satu tempat wisata yang memfasilitasi perayaan pergantian tahun, pengeluaran untuk kembang api dan petasan bisa mencapai miliaran rupiah. Dihabiskan dalam sebentar saja, tidak bersisa, kecuali sampah.
Inilah bentuk paradoks kemiskinan. Di satu kondisi masyarakat kita banyak yang miskin tapi satu kondisi kita gampang berfoya-foya. Besar pasak daripada tiang. Besar pengeluaran dari pada pemasukan. Demi perayaan semalam mau menghabiskan pendapatan satu bulan.
Perayaan pergantian tahun juga diwarnai dengan menumpuknya sampah. Ketika pagi, terlihatlah sampah berbagai jenis menumpuk bahkan di setiap jengkal di tempat itu. Hampir tidak ada tempat yang tidak ada sampahnya. Bisa-bisa, mereka yang tidak merayakan, yang harus membersihkan sampah-sampah itu.
Pada akhirnya, tentang bagaimana cara kita mengisi momen itulah yang terpenting. Meskipun tidak ada anjuran agama untuk mengisi kegiatan pergantian tahun dengan dzikir atau istigasah sekalipun, setidaknya hal itu menjadi alternatif daripada kegiatan lain yang jelas banyak negatif atau mudaratnya. Apalagi dengan kondisi saat ini dimana saudara kita sedang ditimpa musibah, seharusnya kita bisa menjaga sikap kita untuk bisa berempati kepada mereka. Sesungguhnya tidak etis pula kita bergembira, pada saat yang sama banyak pula orang yang sedang berduka. Bukan tidak mungkin, suatu saat posisi kita bisa berada pada posisi mereka saat ini. Semoga kesadaran seperti ini bukan hanya pada tahun ini saja tapi berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.